Minggu, 01 Desember 2013

Maybe, I miss You

Ku tatap layar ponselku. Sepasang kekasih yang tersenyum menjadi tampilan awal ponsel tersebut. Seketika air mataku menetes melihat foto yang ada dilayar ponselku. Beberapa detik kemudian sebuah pesan singkat masuk ke ponselku.
From : Nikky
Aku akan berangkat besuk jam 10 pagi
Seketika tubuhku gemetaran seperti ada sengatan listrik yang menyengat tubuhku. Kubaringkan tubuhku diatas kasurku dan menangis sejadi-jadinya malam ini.
ØØØ
3 bulan yang lalu
Pagi ini dengan semangat kulangkahkan kakiku menuju pintu rumahku. Diluar sana seorang laki-laki sudah menungguku sejak tadi. Kutebarkan senyum manis ke arah laki-laki itu dan dia pun membalas senyumku dengan lambaian tangannya. Kuhampiri laki-laki itu, dia menyodorkan sebuah helm berwarna putih kepadaku. Segera ku pakai helm tersebut dan duduk dibelakangnya. Motor berwarna merah ini pun melaju cukup kencang.
Sesampainya disekolah kami berpisah diparkiran. Aku berjalan menuju kelasku yang berada dilantai dua. Dari kejauhan seorang laki-laki menghampiriku.
“Senangnya Kak Doni menjemputku tadi pagi.” Curhatku pada laki-laki itu.
Entah mengapa seperti biasa tak pernah ada respon darinya. Tiba-tiba langkah kami terhenti ketika seorang gadis berdiri dihadapan kami.
“Nik, besuk sabtu ada acara gak? Aku mau ngajak kamu nonton.” Ucap gadis itu menyodorkan dua lembar tiket.
“Maaf.” Jawab Nikky kemudian meninggalkan aku dan gadis tersebut.
Aku bergegas mengikuti Nikky menuju kelas. Kebetulan kami berdua berada dikelas yang sama. Nikky sudah duduk dibangkunya sambil mengambil beberapa buku dalam tasnya.
“Kamu kenapa sih? Bukankah bagus kalau ada yang ngajak kamu jalan. Ah kamu menyiakan kesempatan buat dapet cewek.” Ocehku yang tidak dipedulikan oleh Nikky.
“Ah padahal aku pengen kamu cepat punya pacar.” Lanjutku.
“Nina bisakah kamu diam?” Tegurnya dengan nada yang halus.
“Maaf.” Ucapku.
Tiba-tiba ponselku berdering tertera nama kak Doni dilayar ponselku, dengan cepat ku buka pesan yang dikirim untukku.
From : Kak Nikky
Sepulang sekolah bisa temenin aku pergi?
Aku langsung loncat kegirangan begitu membaca pesan dari kak Doni. Nikky yang duduk disampingku tampak begitu kesal melihat tingkahku.
“Apa kamu tidak menyukai kak Doni?” Ucapku tiba-tiba.
“Sedikit.” Jawab Nikky.
“Kenapa?” Tanyaku lagi.
“Bukan urusanmu.”
Mendengar jawaban Nikky aku sedikit kesal kemudian pergi meninggalkan Nikky dan kembali duduk dibangku.
ØØØ
Sepulang sekolah kak Doni sudah menungguku digerbang sekolah. Kuhampiri kak Doni yang sejak tadi memandangiku dari jauh.
“Maaf kalau agak lama.” Ucapku.
“Tidak apa-apa kok.”
Kami pun melesat menuju komplek pertokoan yang terletak agak jauh dari sekolahku. Selama perjalanan kak Doni bertanya beberapa hal yang aku sukai dan membuatku antusias menjawabnya.
Sesampainya dikomplek pertokoan kami turun dari motor dan menuju sebuah kafe didaerah tersebut. Kami mencari tempat yang dekat dengan jendela yang ada dikafe tersebut.
“Ada yang ingin aku bicarakan padamu.” Kata kak Doni dengan raut wajah yang serius.
“Apa?” Tanyaku penasaran.
“Sebenarnya…” Tiba-tiba ucapan kak Doni terhenti dan membuatku semakin penasaran.
“Aku suka sama kamu.” Lanjutnya dan sukses membuatku terkejut mendengar semua itu.
Aku kehabisan kata-kata hingga aku tidak bisa menatap wajah kak Doni. Beberapa detik kemudian kak Doni memberikanku sebuah kalung berbentuk hati. Seketika hatiku merasa bahagia.
“Bagaimana apa kamu mau jadi pacarku?” Ucapnya memberikan kotak yang berisi kalung tersebut padaku.
Aku hanya mengangguk menandakan bahwa aku menerimanya. Kak Doni melemparkan senyum manis padaku. Kami pun saling memandangi dengan senyum yang terurai di bibir kami.
ØØØ
Ku buka pintu rumahku, diruang tamu ibuku berbincang-bincang dengan seorang wanita separuh baya sambil menonton televisi. Ku amati mereka dan tersadar bahwa wanita tersebut adalah ibu Nikky. Ku sapa wanita tersebut begitu ramah.
“Nin, tolong kamu belikan obat buat mama ya.” Pinta ibuku.
“Iya sebentar.”
Segera ku ganti bajuku kemudian bergegas keluar dari rumahku. Ku langkahkan kakiku menyusuri komplek perumahan yang cukup sepi. Kulihat jam diponselku menunjukkan pukul tujuh malam. Sesampainya di apotek aku membeli beberapa pesanan ibuku kemudian bergegas pulang karena udara malam cukup dingin terasa ditubuhku mesti aku sudah memakai jaket.
Drrrttt
Ponselku berdering ada panggilan masuk dari kak Doni yang tertera dilayar ponselku. Dengan kegirangan ku jawab panggilan tersebut.
“Halo…sedang disuruh mama beli obat…iya ini mau pulang…jalan kakilah kan deket…nanti aja telponnya ya aku masih diluar..iya…bye…”
Ku lanjutkan perjalananku, dari kejauhan seorang laki-laki bersandar dipagar rumahku. Laki-laki yang sudah kukenal sejak kecil. Dia adalah Nikky. Kuhampiri Nikky dan menyapanya.
“Aku pergi dulu.” Ucapnya meninggalkanku.
“Oya aku ingin cerita padamu soal kak Doni.” Ucapku membuat langkah kaki Nikky terhenti.
“Kau tahu tadi kak Doni nembak aku. Dia bilang kalau dia suka sama aku. Kau tahu betapa bahagianya aku.” Lanjutku.
Nikky tidak merespon ceritaku lagi dan berjalan meninggalkanku. Entah mengapa semakin membuatku kesal. Ku ikuti langkah kakinya dan sekarang kami berada didepan rumah Nikky yang terbatasi oleh tiga rumah dengan rumahku.
“Tunggu sebentar ada yang ingin aku tanyakan.” Ucapku mencegahnya masuk kerumah.
“Akhir-akhir ini kamu berubah seperti bukan Nikky yang aku kenal dulu.” Lanjutku masih menatap wajah Nikky.
“Aku memang berubah.” Jawabnya membuatku semakin kesal.
“AHH… KAMU INI KENAPA?” Bentakku padanya.
Entah mengapa Nikky memegang kedua bahuku dengan tangannya. Seakan berusaha mencegah amarahku.
“Karena aku mencintaimu itu jawabanku.” Ucap Nikky kemudian melepaskan tangannya dari bahuku dan masuk kedalam rumahnya.
Aku masih terpaku mendengar ucapan yang baru saja kudengar. Seakan seluruh tulangku membeku hingga aku hanya terdiam ditempatku. Aku tidak akan pernah menyangka Nikky berkata seperti itu padaku. Pada seorang sahabat dari kecil.
ØØØ
Setelah kejadian itu hari-hariku mulai berubah. Mesti aku bersama kak Doni tapi ada sesuatu yang hilang dalam diriku. Sesuatu yang berharga dibandingkan apa yang aku miliki sekarang.
Sudah hampir tiga bulan aku dan Nikky menjauh setelah kejadian yang tidak pernah kuduga itu. Tetapi setiap kali aku ingin mendekati Nikky, dia selalu menjauh dariku. Entah mengapa aku sangat sedih tentang semua ini.
Sore ini aku berjalan bersama kak Doni untuk menonton film bersama. Seperti biasa aku tetap tersenyum berusaha tidak menunjukkan kesedihanku selama ini. Ketika memasuki bioskop tidak sengaja aku bertemu Nikky dan seorang gadis yang pernah kulihat dulu. Mereka terlihat seperti sepasang kekasih. Nikky hanya melihatku tanpa mengucap salam padaku. Hal itu membuatku semakin sakit melihatnya.
“Kamu tidak apa-apa?” Tanya kak Doni yang melihatku sedikit aneh.
“Tidak apa-apa. Ayo masuk kak.” Ucapku berusaha terlihat baik-baik saja dihadapan kak Doni.
ØØØ
Pagi ini suasana cukup ramai tidak seperti biasanya. Padahal hari ini adalah hari minggu. Aku menuruni anak tangga menuju ruang tamu. Dari jauh kulihat Nikky bersama keluarganya terlihat bahagia berbincang-bincang dengan kedua orang tuaku.
“Kau sudah bangun rupanya. Cepat kesini bantu ibu.” Pinta ibu.
Aku berjalan menuju dapur rumahku menyiapkan beberapa kebutuhan yang dibutuhkan ibu. Tiba-tiba Nikky berdiri disampingku.
“Aku akan pindah ke Bogor minggu depan.” Ucap Nikky tiba-tiba.
“Oh.” Jawabku singkat.
Nikky kemudian meninggalkanku sendiri yang sibuk mengambil sesuatu didapur. Entah mengapa aku tidak ingin berpisah dengan Nikky. Aku mengejar Nikky dan memeluknya dari belakang. Nikky sontak kaget melihat apa yang aku lakukan.
“Jangan pergi, aku tidak bisa jauh darimu.” Ucapku.
Nikky memegang tanganku yang memeluk dirinya dari belakang. Air mataku tiba-tiba mengalir hingga membuat Nikky menyadari bahwa aku sedang menangis dibelakangnya.
“Jangan pernah menangis jika aku tidak ada disampingmu.” Ucap Nikky melepaskan pelukanku kemudian pergi.
ØØØ
Aku masih memikirkan tentang kepergian Nikky. Entah mengapa semakin lama aku semakin tidak bisa kehilangan dirinya. Apa mungkin aku mulai menyukainya? Entahlah aku tak pernah tahu perasaan itu.
Aku berjalan menuju gerbang sekolah. Hari ini sepulang sekolah aku akan pergi berkencan bersama kak Doni. Seperti biasanya kak Doni menungguku tepat didepan gerbang sekolahku. Kuhampiri dia yang cukup lama menungguku.
“Ayo.” Ajak kak Doni.
Aku masih terdiam melihat kak Doni yang sudah siap melajukan motornya. Kak Doni yang heran melihatku menuruni motornya.
“Kau kenapa?” Tanyanya.
“Aku ingin putus.” Jawabku singkat membuat kak Doni kaget.
“Apa maksudmu, Nin?” Tanya kak Doni masih tak percaya tentang apa yang aku katakan.
“Aku ingin putus.” Ucapku lagi.
Dengan perasaan kecewa kak Doni bersiap mengendarai motornya dan pergi meninggalkanku yang masih terpaku memandangi kak Doni yang sudah menjauh dari tempatku.
Nikky melihat semua itu datang menghampiriku. Aku menatapnya dengan raut wajah yang masih sedih entah karena kak Doni atau Nikky.
“Aku sudah putus. Apa kau tak bisa tetap tinggal disini?” ucapku tak membuat wajah Nikky bahagia.
“Maaf.” Ucapnya kemudian pergi.
ØØØ
Seminggu kemudian tepat hari kepergian Nikky. Ku lihat jam menunjukkan pukul 9 pagi. Aku tidak keluar sama sekali dari rumah. Dari jendela kamarku tampak jelas sebuah mobil terparkir didepan rumah Nikky.
Drrttt
Ponselku berdering terlihat sebuah pesan singkat datang dari Nikky.
From : Nikky
Kau yakin tidak ingin mengucap salam perpisahan untukku saat ini. Aku menunggumu didepan gerbang rumahmu.
Waktu berjalan dengan cepat tetapi aku tak menghiraukan pesan singkat yang dikirim oleh Nikky tadi. Kulihat dari jendela kamarku mobil itu sudah bersiap melaju. Entah mengapa naluriku berkata untuk mengejar Nikky. Dengan cepat aku berlari menuju gerbang rumahku tetapi sayang mobil tersebut sudah menjauh. Dengan perasaan kecewa aku kembali masuk rumahku. Sebuah pesan singkat dari Nikky tertera dilayar ponselku.
From : Nikky
Lihatlah dibelakangmu.
Kubalikkan tubuhku dan melihat Nikky berdiri didepanku. Dengan senyum yang sama, dia pancarkan padaku. Membuatku semakin bertanya tentang apa yang terjadi.
“Bukankah kau akan pindah?” Tanyaku penasaran.
“Kau kan yang menyuruhku untuk tetap tinggal.” Ucapnya.
“Lalu mobil yang tadi?”
“Ayahku pindah tugas di Bogor. Aku akan pindah setelah lulus SMA nanti.”
“Lalu yang kau bilang waktu itu dirumahku?” Tanyaku semakin dibuat bingung olehnya.
“Hanya sedikit menggoda dan itu menyenangkan.”
Dengan kesal aku meninggalkan Nikky yang masih tertawa karena berhasil mengerjainku. Nikky berlari mengejarku dan menarik tanganku hingga kami saling berhadapan.
“Bukankah kau pernah memelukku? Kenapa tidak kau lakukan lagi?” Ucap Nikky sedikit menggoda.
“Lupakan aku membencimu sekarang.” Ucapku kemudian masuk ke dalam rumah.
TAMAT

Kamis, 28 November 2013

Seberkas Harapan



Hari menyebalkan dalam hidupku. Aku merasa paling lemah diantara yang lain. Ya aku bukan orang yang pintar, rajin bahkan aku hanya orang yang biasa saja tapi tahukah kalian sebuah nilai menentukan keberhasilan dalam hidup orang. Dan hal itu yang aku alami, setiap hari belajar, belajar dan belajar tentu hasil yang ku dapat tak pernah sesuai yang aku inginkan. Aku berusaha tetap berjuang tapi hatiku selalu sakit karena semua ini. Aku ingin menangis, menjerit sepuasnya. Aku hanya ingin menggapai cita-citaku. Membahagiakan kedua orang tuaku tapi aku terlalu payah untuk melakukan semuanya. Aku butuh kekuatan untuk tetap bangkit dari semua ini tapi aku tak tahu siapa yang bisa menompangku saat ini. Ketika terluka hanya diri ini yang menompang tubuhku yang lemah ini. Jika masih ada hari esok aku ingin berjalan dari awal meraih sesuatu yang disebut kesuksesan. Dan semoga kata itu dapat kuraih nanti.

Senin, 12 Agustus 2013

Simfoni Sebuah Nama


Simfoni Sebuah Nama
Kudengar suara ombak yang menyejukkan. Irama yang pelan namun menenangkan jiwa sang pendengar. Seakan mata ini ingin terpejam menikmati kenyaman yang kurasakan selama ini. Perlahan-lahan bunyi itu semakin mengeras. Aku coba membuka lebar kedua tanganku mencoba lebih memahami suasana saat ini. Lama kelamaan seluruh tubuhku dipenuhi kabut yang dingin. Hingga membuatku sulit untuk bernafas kubuka pelan-pelan mataku. Dibawah kakiku alunan ombak mulai menerpa kaki lemahku. Ombak yang sejak tadi mengalun indah berubah menjadi naungan yang ganas bagai raksasa menelan mangsanya.
            “Hey..” Panggil seseorang dari kejauhan.
            Kupalingkan wajahku sedikit melihat sosok yang tengah sibuk berlari menghampiriku. Wajah dan senyum itu sosok yang membuat hati ini bergetar seakan ribuan sengatan listrik menyengat tubuhku.
            “Ayo pulang.” Katanya lirih.
            “Aku lebih nyaman disini. Setidaknya aku merasa baik-baik saja untuk saat ini.” Ucapku masih menatap lautan yang luas dihadapanku.
            “Tapi sudah saatnya kamu kembali ke rumah sakit.”
            “10 menit saja ya.” Rengekku.
            Tanpa berkata-kata dia merangkul bahuku. Kusandarkan kepalaku dipundaknya. Menikmati keindahan dari Sang Pencipta.
            “Aku berpikir ingin hanyut dalam ombak.” Ucapku tiba-tiba.
“Bebas melakukan apapun. Mengikuti arah angin yang senantiasa memberi kehidupan kepadaku.” Lanjutku.
“Tapi aku tidak ingin kau hanyut dalam ombak. Karena selamanya kau akan hidup dalam ketidak pastian. Tanpa arah hanya mengikuti arah angin. Tanpa tujuan kemana ombak itu akan melangkah.” Kata sosok disampingku yang membuatku menatap tubuhnya.
“Hidup ketidakpastian ya. Mungkin itulah kehidupanku.” Ucapku memandangi kedua mata sosok disampingku. Sosok mampu membuatku bangkit dari kegelapan hidup ini. Mungkin dialah makhluk yang paling berharga didunia ini.
&&&
            Sinar rembulan menyinari tubuhku yang lemah ini. Kutatap ruas jemari tanganku. Dari celah antara jemari tangan satu dengan yang lain aku masih dapat melihat cahaya rembulan yang entah mengapa terlihat lebih terang dari malam-malam sebelumnya.
            Untuk sekian kalinya dering telpon terdengar. Bunyi yang berusaha mengangguku malam ini. Tapi tetap sama aku masih diam terpaku menatap langit malam yang membuatku hanyut didalamnya. Hingga akhirnya bunyi itu menghilang.
            “Sampai kapan kamu berdiri disini? Sudah malam cepatlah masuk.” Pinta seseorang yang sangat aku kenal suaranya itu.
            “Sebentar lagi mungkin atau mungkin aku akan berdiri disini sampai besok.” Candaku. Tapi tak ada jawaban dari sosok yang tengah berdiri dibelakangku.
            Seketika sebuah tangan mendekap tubuhku dari belakang. Kehangatan yang sering aku rasakan, entahlah aku tidak pernah bosan dengan kehangatan yang bahkan mampu membuatku merasakan kenyaman yang tidak akan pernah aku rasakan selama ini.
            “Dimas, aku lelah.” Ucapku lirih.
            “Tidurlah aku akan selalu disisimu.” Balasnya.
&&&
            Pagi ini kulangkahkan kakiku menuju tempat yang paling aku benci didunia ini. Setelah sekian kalinya aku pergi ke tempat itu entah mengapa baru sekarang aku sadar bahwa aku sangat membenci tempat itu.
            Sesampainya disana kedua orang tuaku memasuki ruangan dokter pribadi keluarga kami. Beberapa lama menunggu mereka membuatku bosan dan tubuhku mulai berjalan menyusuri tempat yang bahkan sangat kukenal ini.
            Baju putih, bau obat-obatan telah akrab ditempat ini. Bagi mereka yang jarang ke tempat ini pasti akan merasa bosan. Hanya pemandangan serba putih yang terlihat disepanjang tempat ini. Tapi bagiku tempat ini bagaikan tempat kedua yang aku singgahi selain rumahku sendiri.
            Disudut bangunan ini sesosok laki-laki memegang mawar merah ditangan kanannya. Memandangi lantai putih yang bahkan sudah terlihat tua. Kuhampiri laki-laki itu, entah mengapa naluriku seolah mengajakku pergi ke tempat itu.
            “Hai.” Ucapku kepada laki-laki itu. Tetapi laki-laki itu masih diam dan tak menoleh kearahku.
            “Halo.” Ucapku lagi.
            Laki-laki itu memandangiku sejenak kemudian kembali ke posisi awalnya tadi. Mesti sebentar memandangnya tetapi terlihat jelas diwajahnya bahwa dia sedang sedih. Aku pun duduk disampingnya. Kuraba saku jaketku mencari sesuatu didalam sana. Sepasang earphone kuambil dari saku jaketku. Kupasangkan salah satu sisi earphone ke telinga kanan laki-laki itu. Sebuah alunan piano terdengar merdu ditelinga kiriku. Sampai alunan itu berakhir kami masih sibuk menikmati alunan musik yang indah itu.
            “Terdengar indah, selera musikmu tinggi juga.” Laki-laki itu pun bersuara.
            “Ah tidak juga tapi makasih. Kamu terlihat sedih ada masalah ya?” Ucapku sedikit penasaran. Mendengar kata-kata itu dariku laki-laki itu kembali terdiam.
            “Ah maaf.” Ucapku merasa bersalah.
            “Tidak apa-apa kok. Aku cuman lagi sedih. Seharusnya hari ini hari ulang tahun pacarku tetapi dia baru saja mengalami kecelakaan.” Ucapnya dengan wajah yang sedih.
Kami berdua pun terdiam untuk beberapa saat sampai akhirnya laki-laki itu membuka pembicaraan lagi.
“Sayangnya dia meninggal dalam kecelakaan itu.”
Mendengar kata-kata itu dari bibirnya aku hanya terdiam. Beberapa saat kemudian air mataku membasahi kedua pipiku.
“Ah maaf seharusnya aku gak menangis. Maaf.”
“Tidak apa-apa kok.” Balasnya singkat.
“Oya kenalkan nama aku Rava. Namamu siapa?” Ucapku sambil mengulurkan tangan kananku.
“Dimas.” Jawabnya membalas uluran tanganku.
“Maafkan yang tadi ya. Aku gak bermaksud buat kamu sedih kok.” Lanjutku.
“Haha.. Santai saja. Ngomong-ngomong kamu lagi jenguk siapa disini?”
Seketika aku hanya terdiam dan berusaha untuk tetap ceria dihadapan Dimas. Selama ini aku hanya hidup dalam kegelapan. Sendiri merasakan sakitnya kehidupan ini.
“Teman.” Jawabku singkat.
Pertemuan pertama yang terkesan indah saat itu. Dan pertemuan-pertemuan berikutnya yang akan membuatku merasakan arti kehidupan yang sebenarnya selama ini.
&&&
            “Dimas apa kamu akan sedih jika aku pergi?” Tanyaku pada Dimas yang duduk disampingku.
            “Kamu ini bicara apa sih?”
            “Jawablah.” Pintaku.
            “Tentu saja. Jadilah wanita yang kuat agar kamu tidak pergi meninggalkanku.” Ucapnya.
            “Aku mengantuk. Aku tidur dulu ya.”
            Perlahan kututup kedua mataku. Hanya kegelapannya yang terlihat. Perlahan-lahan kegelapan itu menjadi sebuah cahaya yang begitu terang bahkan membuat tubuhku menjadi hangat. Dan kesakitanku selama ini menghilang untuk selamanya bersama jiwaku yang terhempas dari ragaku.
&&&
            Aku menangis disudut bangunan kokoh yang sudah sering aku datangi ini. Aku selalu berusaha untuk tetap kuat tetapi tubuhku tak pernah mau mengikuti hati nuraniku.
            “Rava.” Panggil seseorang yang begitu aku kenali itu.
            “Sudahlah. Aku hanya gadis penyakitan yang gak pantas buatmu.” Bentakku membuat Dimas semakin mendekatiku.
            “Aku menolakmu bukan karena penyakitmu tapi karena perasaanku kepadamu.”
             Dimas kemudian memelukku. Aku menangis didalam pelukannya. Dia laki-laki pertama yang aku cintai. Laki-laki yang mampu membuatku merasakan arti kehidupan yang sebenarnya.
&&&
Ketika pertama kali aku menemuimu jantungku berdetak tak menentu. Semakin lama detak jantungku semakin memuncak. Saat itu hal yang paling indah dalam hidupku. Aku masih ingat bahwa aku berbohong padamu. Dan setelah beberapa lama kita saling mengenal aku tahu cepat atau lambat kau akan tahu semua itu. Benar aku hanya seorang gadis penderita leukemia yang tidak akan bertahan lama didunia ini. Tapi apakah kau tahu untuk pertama kalinya aku bersyukur bahwa aku bertemu denganmu bertemu dengan sosok yang bisa membuatku bangkit kembali. Dan aku tersadar bahwa aku sangat mencintaimu. Mestipun yang kita lihat sangatlah berbeda. Tetapi sampai akhir hayatku hanya dirimu yang aku cintai. Selamanya.


Rava

            Dimas memasukkan sepucuk kertas kedalam amplop biru. Ditatapnya amplop itu sejenak. Sore ini matahari terbenam dengan indah. Diiringi hembusan angin dan alunan ombak yang merdu. Suasana yang sangat didambakan seseorang yang telah jauh berada disana. Ditempat yang bahkan tidak bisa diraih manusia. Tempat yang lebih indah daripada tempat Dimas berdiri sekarang.
            “Sesuatu yang kita lihat tidaklah berbeda. Karena sesuatu yang kita lihat sekarang sudah ada didepan kita.”
TAMAT

Senin, 24 Juni 2013

You Can Fly with Your Arrow


            Laki-laki itu berdiri dengan tegak sebuah busur dan anak panah siap meluncur dari tangannya. Dengan penuh hati-hati laki-laki itu fokus menatap kedepan tanpa sedikitpun melihat ke lain. Sampai akhirnya dia meluncurkan anak panah ditangannya.
            Jleb…
            Seluruh penonton bertepuk tangan dengan tatapan kagum pada laki-laki itu. Saat itulah jantungku berdetak begitu cepat. Seluruh tubuhku merinding ketika melihat laki-laki itu. Laki-laki yang begitu hebat yang berdiri dengan senyuman lebar dibibirnya.
¿¿¿
            Kutatap lampu jalan malam ini dari dalam mobil. Tempat yang telah lama kutinggal itu masih sama seperti dulu. Tetap terlihat indah ketika malam hari. Dan masih lekat kenangan 2 tahun yang lalu.
            “Apa kamu tidak ingin mencari laki-laki itu?” Ucap Karen yang duduk disampingku.
            “Entahlah aku tidak yakin.” Balasku.
            “Kabarnya setelah kejuaraan nasional 2 tahun yang lalu dia berhenti memanah. Padahal dia sangat berbakat.”
            Aku hanya terdiam tanpa menatap Karen sama sekali. Kemudian hening terjadi diantara kami berdua. Sampai akhirnya kami sampai ke tempat tujuan.
            “Kita sudah sampai.” Ucapku.
            Kami pun berhenti disebuah rumah besar dengan pagar yang tingginya hampir 2 meter itu. Sebelum kami membuka pintu pagar yang besar itu seorang wanita separuh baya berdiri didepan pagar membukakan untuk kami berdua.
            Kami berdua memasuki ruang tengah rumah itu. Rumah yang besar sekali dengan koleksi patung dan benda-benda tua berjajar dikanan kiri rumah ini. Rumah yang didesain klasik ini terlihat sepi hanya beberapa orang yang tinggal dirumah ini.
            “Nona bagaimana kabar anda?” Tanya salah satu pelayan rumah ini.
            “Baik. Ayah dan ibu dimana?” Tanyaku balik.
            “Mereka sedang pergi mungkin sebentar lagi akan pulang. Lebih baik anda istirahat dulu.”
            Aku dan Karen pergi menuju kamar masing-masing. Karen adalah sepupuku, kami berdua tinggal bersama sejak kecil karena orang tua Karen meninggal ketika Karen masih kecil.
            “Rere besuk aku gak bisa mengantarmu ke rumah sakit. Kamu pergi sendiri tidak apa-apa?” Ucap Karen dari luar pintu kamarku.
            “Baiklah.”
¿¿¿
            Siang ini aku berjalan sendiri menuju rumah sakit. Setiap bulannya selalu diadakan kegiatan amal dirumah sakit ini. Kulihat halaman rumah sakit itu telah banyak orang disana. Aku pun mempercepat langkahku.
            Sesampainya dihalaman rumah sakit seorang laki-laki duduk dikursi roda sedang memainkan sebuah gitar ditangannya. Alunan musik yang indah yang membuat sebagian orang mengerumuni orang tersebut. Dengan penasaran aku menghampiri kerumunan orang tersebut.
            Laki-laki itu kembali mengguncahkan hatiku. Laki-laki 2 tahun lalu yang sekarang menjadi sosok yang sangat berbeda dengan aura yang sama seperti laki-laki itu.
            Setelah menyelesaikan satu lagu beberapa orang meminta tanda tangan darinya. Dengan tersenyum dia melayani semua orang dengan baik. Sampai akhirnya tinggal aku dan dia yang saling berhadapan.
            “Maaf ada yang bisa saya bantu?” Ucapnya.
            Aku masih terdiam tak percaya bahwa dia laki-laki 2 tahun yang lalu yang mampu membuatku terpesona padanya.
            “Permisi nona. Ada yang bisa saya bantu?” Ucapnya sekali lagi.
            “Ah maaf. Tidak ada.” Balasku kemudian laki-laki itu bersiap untuk pergi.
            “Tunggu dulu.” Ucapku mencegah laki-laki itu pergi. Dengan cepat dia hentikan kursi rodanya.
            “Apa anda Rey Laksana?” Tanyaku kemudian.
            “Benar.” Jawabnya singkat.
            “Bukankah anda seorang atlet memanah?” Tanyaku lagi membuat raut wajahnya berubah seketika.
            “Maaf.” Ucapnya kemudian pergi.
            Aku berusaha mengejarnya tetapi dia enggan melihatku. Tiba-tiba seorang anak terjatuh dan menangis dihadapan laki-laki itu. Aku menghampiri anak itu.
            “Mana yang sakit? Coba kakak lihat?” Ucapku ramah.
            Anak itu masih menangis bahkan menangis semakin kencang.
            “Anak manis gak boleh nangis.” Kupegang lutut anak yang terluka tadi dan tiba-tiba anak itu berhenti menangis.
            “Ini kakak punya permen. Jangan nangis lagi ya.” Ucapku tersenyum, anak itu mengambil permen dari tangan kananku kemudian berlari menuju ibunya.
            Laki-laki yang duduk dikursi roda itu hanya terdiam melihatku kemudian bersiap untuk pergi.
            “Tunggu aku masih ingin bertanya padamu.” Cegahku lagi.
            “Apa lagi yang kamu ingin kamu tanyakan?” Ucapnya menatap kedua mataku.
            “Kenapa kamu berhenti memanah? Bukankah…” Sebelum aku mengakhiri kata-kataku laki-laki itu pun langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
            “Hey tunggu.” Teriakku tetapi tidak dihiraukan olehnya.
            Aku melihat laki-laki itu semakin menjauhiku. Aku hanya diam ditempat tanpa mengejarnya.
            “Rere.” Panggil seorang wanita dibelakangku.
            “Suster Santy. Apa kabar?” Ucapku kemudian Suster Santy memelukku.
            “Baik.” Tanyanya kemudian mengajakku masuk kerumah sakit.
            Rumah sakit ini masih terlihat sama seperti dulu. Sejak kecil aku sering mengunjungi rumah sakit ini. Rumah sakit yang letaknya hanya beberapa meter dari rumahku itu sering dipenuhi banyak orang setiap bulannya. Acara amal yang dilakukan oleh rumah sakit ini membuatku sering datang ke rumah sakit ini dan tentunya hal itu dikarenakan rumah sakit ini milik kakekku.
            “Bagaimana kabarmu di Belanda? Pasti menyenangkan disana.” Tanya Suster Santy mengalihkan pembicaraan.
            “Yah begitulah. Tetapi lebih menyenangkan saat aku di Indonesia.”
            Suster Santy hanya melihat sambil tertawa kecil. Kulihat sekelilingku, rumah sakit ini belum berubah masih seperti dulu. Disudut lorong seorang laki-laki memainkan beberapa lagu dengan gitar ditangannya. Aku sedikit melirik ke laki-laki itu. Entah mengapa raut wajah sedih yang terlintas dimataku.
            “Aku sedikit kasihan padanya. Dia mengalami kecelakaan yang membuat kakinya cidera dan harus kehilangan seorang adik yang paling disayanginya.” Kutatap Suster Santy rupanya dia memperhatikanku sejak tadi.
“Baiklah aku harus bekerja.” Ucap Suster Santy kemudian meninggalkanku.
Aku masih menatap sosok itu. Dengan kursi rodanya seakan membuatnya menjadi sosok yang rapuh. Ketika aku hendak menghampirinya. Dia menghentikan permainan gitarnya dan mendorong kursi rodanya menuju kamarnya.
¿¿¿
            Kutatap langit malam ini, bintang-bintang bertaburan indah dilangit membentuk sebuah deretan-deretan bintang dengan pola tersendiri. Diatas kasurku Karen memandangi foto gadis-gadis berpakaian unik tetapi tetap terlihat cantik.
            “Coba lihat ini. Simple banget kelihatan cocok kalau aku pakai.” Ucap Karen tiba-tiba tapi tak ada jawaban dariku.
            “Rere.” Panggilnya pelan. Tetapi aku masih tetap terdiam seperti tadi.
            “RERE.” Teriak Karen membuyarkan lamunanku.
            “Iya ada apa?” Jawabku.
            “Sejak tadi kamu gak perhatikan aku bicara apa? Kamu itu kenapa sih? Lagi mikirin apa?” Tanya Karen kesal.
            “Maaf.” Jawabku singkat.
            Beberapa menit hening terjadi sampai akhirnya Karen melontarkan pertanyaan yang membuatku terkejut.
            “Apa kamu bertemu dengan laki-laki itu?” Tanya Karen tiba-tiba.
            Aku terdiam sejenak memikirkan jawaban apa yang akan aku berikan pada Karen. Tetapi sepertinya Karen sudah bisa menebak apa jawabannya.
            “Iya.” Jawabku berusaha jujur.
            “Apa ada sesuatu yang terjadi?”
            “Tidak. Aku mau istirahat bisakah kau kembali ke kamarmu.” Pintaku pada Karen. Dia pun pergi tanpa protes sama sekali padaku. Kami sudah akrab sejak kecil jadi Karen tahu apa yang harus dia lakukan saat moodku sedang buruk.
¿¿¿
            Pagi ini aku memberanikan diri bertemu dengan Rey. Aku tahu dia pasti akan mengusirku. Tetapi aku tidak akan menyerah setidaknya aku ingin orang yang aku kagumi itu kembali menjadi dirinya sendiri. Bukan dirinya yang rapuh seperti itu.
            Rey duduk diatas kursi rodanya. Dia menatap langit lewat jendela rumah sakit. Wajahnya yang terlihat begitu rapuh. Dia bagaikan seekor burung yang kehilangan salah satu sayapnya. Dan tidak mungkin dia akan terbang dengan satu sayap itu.
            Kuhampiri dia yang sejak tadi melihat langit tanpa sadar keberadaanku. Setelah beberapa waktu kemudian dia tersadar dan menatapku sejenak kemudian berpaling dan enggan melihatku.
            “Apa sikapku kemarin terlalu buruk untuk dimaafkan?” Tanyaku tiba-tiba, Rey pun menatapku sejenak kemudian kembali menatap langit.
            “Aku hanyalah seekor burung yang hanya mempunyai satu sayap. Untuk apa kau masih berdiri disamping burung yang bahkan tidak akan pernah bisa terbang lagi.” Ucapnya tanpa menoleh kepadaku.
            “Ketika seekor burung hanya memiliki satu sayap mungkinkah dia bisa terbang ?” Entah mengapa kata itu yang aku lontarkan menanggapi ucapnya tadi.
            “Itu mustahil.” Jawabnya masih tetap pada posisi semula.
            “Tidak. Burung itu bisa terbang, karena dia punya kepercayaan dalam dirinya. Dia memiliki sesuatu yang membuatnya dapat percaya pada apa yang ada dalam dirinya. Dan saat itu dia akan terbang mesti hanya satu sayap. Satu sayap yang mewakili satu sayap lainnya.”
            Rey memandangiku kemudian tersenyum padaku. Saat itulah senyum yang terukir indah tampak dihadapanku. Senyum yang indah yang mampu membuatku merasa tenang didekatnya.
            “Waktu itu kebahagian datang padaku setelah aku berusaha untuk meraih semua itu. Aku yang begitu bahagia hingga membuatku ingin jatuh dalam kebahagian itu. Tetapi kebahagian yang kudapatkan harus ditukar dengan sesuatu yang berharga bagiku.” Ucapnya kemudian tanpa aku sadari aku memeluknya. Beberapa menit kemudian aku melepas pelukanku darinya. Rona wajahku menjadi merah seketika dengan perasaan tidak karuan aku berlari meninggalkan Rey yang diam terpaku tak percaya akan apa yang aku lakukan.
¿¿¿
            Aku memberanikan diri menghampiri Rey dan meminta maaf atas kejadian kemarin. Aku benar-benar malu jika aku mengingat kejadian kemarin. Entahlah aku juga tidak tahu mengapa aku melakukan hal ini.
            Dari jauh aku melihat seorang wanita keluar dari kamar Rey. Wanita berkulit putih dengan kemeja putih dan bawaan rok selutut berwarna hitam. Wanita yang sepertinya sebaya denganku itu terlihat begitu cantik. Wanita itu pun sudah terlihat jauh meninggalkan kamar Rey. Aku pun memasuki kamar Rey. Kulihat Rey sedang memandangi langit seperti biasanya. Kulihat sekeliling kamar Rey kamar rumah sakit yang terlihat sederhana tetapi dipenuhi banyak bunga-bunga dan surat-surat yang tercecer diseluruh ruangan. Tiba-tiba mataku beralih ke meja samping kasur ruangan itu. Sebuah busur dan anak panahnya terlihat kokoh diatas meja itu. Kuhampiri meja itu dan memegang benda tersebut.
            “Buang saja benda itu.” Ucap Rey masih pada posisi yang sama.
            “Kenapa kamu tidak ingin memanah lagi?” Tanyaku padanya.
            “Itu bukan urusanmu.” Jawabnya.
            “Apa itu karena kematian adikmu?” Tanyaku dengan perasaan sedikit takut jika Rey akan marah padaku. Rey pun menoleh padaku.
            “AKU BILANG BUANG SAJA BENDA ITU DAN CEPAT PERGI DARI SINI.” Bentak Rey yang membuatku ketakutan. Dengan cepat aku berlari meninggalkan Rey.
¿¿¿
            Kutatap benda itu, benda yang terlihat buruk bagi Rey. Entah mengapa tiba-tiba air mataku jatuh. Apa aku menyukai Rey? Entahlah aku tidak yakin, tetapi aku selalu berdebar ketika melihatnya dan selalu bahagia jika melihatnya bahagia. Apa itu bisa disebut cinta? Aku tidak pernah merasakan itu sebelumnya. Tetapi saat ini hatiku sakit saat Rey membentakku tadi. Apa yang terjadi padaku? Aku tidak tahu apa yang telah aku alami ini.
            Didepan pintu kamarku berdiri Karen. Dia terlihat begitu khawatir ketika melihatku. Dia menghampiriku dan memelukku sebentar. Kemudian mengambil sebuah anak panah yang sejak tadi kupandangi itu.
            “Berjuanglah, bukankah kamu ingin melihatnya sekali lagi?” Ucapnya.
            Kuambil anah panah itu dari tangan Karen. Air mataku pun menetesi anak panah itu. Semakin lama semakin deras. Karen mengelus rambut panjangku sambil tersenyum padaku. Aku pun memeluk Karen dan menangis didalam pelukannya.
¿¿¿
            Sudah seminggu aku tidak mengunjungi rumah sakit. Sejak kecil aku mengidap penyakit asma. Walaupun begitu aku selalu ingin bebas melakukan apapun yang ingin aku lakukan saat ini, mesti tidak semuanya aku bisa lakukan.
            Beberapa hari ini aku belajar memanah mesti Karen menentangku dengan keras tetapi aku ingin membuktikan pada Rey bahwa jika aku mampu aku yakin Rey juga mampu melakukan hal itu.
            “Sudahlah. Lebih baik kamu istirahat jangan terlalu memaksakan diri.” Ucap Karen yang sejak tadi mengamatiku.
            “Aku baik-baik saja.” Jawabku sambil mengelap keringat didahiku.
            “Ini obatmu aku gak tanggung kalau sampai kamu kumat.” Kata Karen menaruh tabung oksigen kecil berwarna hijau didekatku.
            “Tenang saja. Aku masih kuat kok.”
            “Terserah saja yang penting aku sudah mengingatkanmu.”
¿¿¿
            Dua minggu kemudian, aku bahkan tidak bertemu dengan Rey sejak hari itu. Entah apa yang terjadi padaku. Aku merasakan sesuatu, aku rindu dirinya. Aku pun pergi ke rumah sakit hanya sekedar melihat dirinya.
            Aku berdiri didepan pintu kamarnya. Dari kaca pintu terlihat kamarnya sepi tidak ada orang didalam. Kemudian aku berbalik ingin kembali pulang tetapi tanpa kusadari Rey sudah ada didepanku.
            “Sejak…ka…pan…kamu…dibelakang…ku?” Ucapku terbata-bata terkejut melihat Rey ada dihadapanku.
            “Sejak tadi. Ngapain berdiri didepan pintu? Masuk aja gak dilarang.” Katanya kemudian memasuki kamarnya. Aku mengikuti dari belakang.
            Kulihat kamar Rey lagi. Sekarang ada yang berbeda dari dua minggu yang lalu. Setidaknya bunga dan surat-surat tidak lagi berceceran dikamarnya.
            “Kamu membersihkan kamarmu?” Entah kenapa kata itu yang terlontar dari bibirku.
            “Tidak, Tari yang membersihkannya.” Ucapnya membuatku sedikit penasaran dengan nama itu.
            Rey melihat kedua tanganku kemudian ditariknya tangan kananku.
            “Aww..” Rintihku.
            “Untuk apa kamu belajar memanah?” Tanyanya memperhatikan tangan kananku.
            “Kamu menyuruhku membawanya dan memintaku untuk membuangnya. Sayang kalau dibuang jadi aku pakai saja.” Jawabku memberikan senyuman tipis padanya.
            “Bodoh.” Ucapnya tersenyum membalas senyumanku.
            Dari luar seorang wanita memasuki kamar Rey. Wanita yang beberapa minggu lalu kulihat keluar dari kamar Rey. Tapi siapakah wanita itu? Entah mengapa perasaan menjadi tidak enak ketika wanita itu mendekatiku dan Rey. Dan saat aku tersadar tanganku sudah terlepas dari genggaman Rey entah sejak kapan.
            “Rey.” Ucap wanita itu dengan wajah terlihat sedih.
            “Tari ada apa?” Rey terlihat khawatir kemudian wanita itu menangis dan memeluk Rey tiba-tiba. Dan saat itulah hatiku terasa sakit. Aku pun pergi meninggalkan mereka berdua tanpa salam perpisahan sekali pun.
¿¿¿
            Aku berdiri tegak membetulkan letak anak panahku didalam busurnya. Memfokuskan pandanganku pada satu titik dihadapanku. Kutarik nafas dalam-dalam kemudian aku luncurkan anak panah itu.
            Jleb.
            Sayang sekali tembakanku meleset lagi. Untuk sekian kalinya aku berlatih tidak ada yang tepat sasaran. Aku pun berhenti latihan. Memang seharusnya aku berlatih dengan orang yang lebih ahli. Kubuka buku tentang memanah, kulihat sekali lagi. Aku sudah melakukannya sesuai buku itu tapi entah mengapa tetap saja tidak bisa. Aku mulai putus asa tapi aku berusaha agar tidak menyerah.
            Sesaat aku mengingat kejadian kemarin. Apa aku cemburu? Tapi aku hanya mengagumi Rey. Apa kagum itu sama dengan suka? Apa jika suka akan merasakan hal seperti ini? Entahlah aku tidak pernah tahu perasaan apa yang aku rasakan ini.
            “Sudah nyerah?” Ucap seseorang yang kukenali suaranya itu.
            “Rey?” Ucapku terkejut melihatnya ada didekatku.
            “Kenapa kamu bisa ada disini?” Tanyaku.
            “Rahasia.” Jawabnya membuatku kesal.
            “Kamu kan pasien rumah sakit? Pasti pihak rumah sakit akan mencarimu lebih baik kamu segera kembali.” Suruhku kemudian berdiri dan memegang pegangan dibelakang kursi roda Rey.
            “Aku pasien lepas. Jadi tidak masalah.” Rey memegang tanganku yang ada dipegangan belakang kursi roda.
            Rey pun menatap busur dan anak panah yang terletak di bawah kakinya. Rey juga melihat tabung oksigenku ada didekat busur tersebut.
            “Jangan terlalu memaksakan diri.” Ucapnya.
            “Tenang saja aku baik-baik saja kok.” Aku pun tersenyum seolah-olah tidak ada apa-apa.
            Dadaku terasa sesak. Aku takut jika penyakitku akan datang saat ini. aku tidak akan menunjukkan bahwa aku tidak benar-benar sedang tidak baik.
            “Sepertinya kamu harus pakai obatmu. Aku tidak bisa menolong jika terjadi apa-apa padamu.” Ucapnya yang membuatku sadar bahwa dia memperhatikan kondisiku saat ini.
            Aku pun menuruti ucapannya. Ku ambil tabung oksigen yang ada didekat busur panah dibawah kaki Rey. Setelah memakai obat itu kondisiku sudah cukup baik kembali.
            “Apa sudah baik-baik saja? Sebetulnya aku ingin mempertimbangkan memanah lagi tetapi kalau kamu bisa menembak tepat sasaran. Hmm.. Sepertinya kondisimu kurang baik. Aku tidak akan memaksa.” Ucapnya tiba-tiba membuatku terkejut.
            “Akan aku lakukan.” Mendengar ucapannya aku berusaha menunjukkan kalau aku baik-baik saja.
            Ku ambil busur dan anak panah yang aku letakkan dibawah kaki Rey. Ku pusatkan pikiranku pada satu titik dihadapanku. Mesti sampai sekarang aku masih belum bisa berhasil tapi aku berusaha akan berhasil menembak dengan tepat. Kutarik nafasku dalam-dalam kemudian kutenangkan pikiranku. Aku yakin aku bisa. Ku pejamkan sejenak mataku kemudian kubuka kembali dan masih tetap pada satu titik tersebut.
            Jleb…
            Apa kali ini berhasil? Apa tepat pada sasaran. Kubuka mataku anak panah yang kuluncurkan tepat sasaran. Aku pun loncat kegirangan. Rey hanya tersenyum puas padaku.
            “Dasar bodoh. Sepertinya kali ini kamu yang menang.” Ucap Rey.
            “Oya wanita yang mengunjungimu kemarin itu siapa? Pacarmu?” Tanyaku penasaran.
            “Hahaha…” Rey justru menjawabnya dengan tertawa.
            “Dia sepupuku. Kenapa kamu cemburu?” Lanjutnya.
            “Tidak. Enak saja siapa juga yang cemburu. Wek.” Ucapku sambil menjulurkan lidahku.
            Mesti aku belum yakin perasaan apa yang ku rasakan ini tetapi aku bahagia bertemu dengan laki-laki ini. Laki-laki yang sangat hebat bagiku. Sekarang burung dengan satu sayapnya akan terbang kembali. Dan aku yakin dia akan terbang lebih tinggi melebihi siapapun.
¿¿¿
            Setahun telah berlalu, sekarang aku berdiri melihat seorang laki-laki yang mampu menggetarkan hatiku berdiri dengan gagahnya. Mesti dia berdiri tidaklah sesempurna yang lainnya tetapi dia yang paling bersinar bagiku. Beberapa menit kemudian panah itu diluncurkan.
            Jleb…
            Semua penonton diam memandangi laki-laki itu dan sesaat kemudian tepuk tangan penonton terdengar begitu kencang. Senyum lebar terlihat dari bibirnya. Laki-laki itu pun menjadi yang pertama dalam pertandingan itu.
            “Ayo kita berangkat.” Ucapku.
            “Tidak pamitan dulu?” Tanya Karen
            “Tidak usah itu akan menyulitkanku.”
            Aku dan Karen meninggalkan tempat itu. Rey memandangiku dari jauh. Aku meninggal perasaan yang entah aku tak tahu itu. Dan aku tak tahu apakah aku akan yakin pada itu kelak. Tapi aku rasa aku bahagia sekarang.
¿¿¿
            Waktu berjalan seperti roda tak pernah terhenti walau sedetik. Seperti aliran air yang akan mengalir kemanapun asalkan ada celah untuk air itu mengalir. Sudah tiga tahun aku tidak bertemu dengan laki-laki itu. Dia seekor burung yang bisa terbang sekarang. Seekor burung yang dapat terbang mesti hanya satu sayap.
            “Excuse me. Are you Rere?” Tanya seorang laki-laki berbadan tinggi dan sepertinya berkebangsaan asli Negara ini.
            “Yes.”
            “This is for you.” Ucap laki-laki itu memberikan sebuah amplop berwarna biru padaku.
            “What this is?” Tanyaku memperhatikan amplop itu.
            “I don’t know. I give for young man. But I don’t know where the man who give me this.” Ucap laki-laki itu kemudian laki-laki itu pergi.
            Dengan penasaran aku membuka amplop itu. Tetapi amplop itu hanya berisi selembar kertas kosong. Aku merasa ada seseorang yang sedang iseng padaku. Tapi siapa orang yang berani mempermainkanku.
            “Apa kamu tidak merindukanku?” Ucap seseorang yang sangat aku kenali suaranya itu. Ku balikkan badanku. Kudapati sosok laki-laki yang masih lekat dipikiranku. Dengan perasaan bahagia aku memeluk laki-laki itu.
            “Mana kursi rodamu?” Tanyaku kemudian melepas pelukanku.
            “Aku sudah bisa berjalan mesti tidak begitu baik. Setidaknya ada seseorang yang mendorongku untuk menjadi seperti ini.” Ucapnya kemudian mencium keningku tiba-tiba. Aku hanya terdiam tanpa protes sedikitpun.
            “Bwahaahaha. Mukamu lucu.” Tawanya begitu puas dihadapanku.
            “Gak lucu. Terus kamu ngapain ngasih amplop yang isinya kertas kosong kurang kerjaan.” Kataku dengan raut wajah kesal.
            “Karena aku bingung mau menulis apa. Kalau aku tulis aku mencintaimu apa kamu akan marah?” Godanya yang membuat mukaku merah merona.
            “Bodoh.” Kemudian aku memeluknya dan membisikkan sesuatu kata yang sangat indah bagiku.
“Aku juga mencintaimu.”
            Dan aku tahu apa yang aku rasakan saat ini. Mungkin aku mencintainya. Ketika perasaan itu datang jantungku berdetak lebih cepat. Seluruh tubuh terasa hangat ketika didekatnya. Dan aku selalu bahagia jika melihat senyumnya. Cinta perasaan yang tulus yang akan selalu ku jaga untuk selamanya. Seekor tak berdaya itu pun terbang menembus langit yang lebih tinggi lagi. Langit yang jauh lebih tinggi dibandingkan yang lainnya.
TAMAT

Sabtu, 11 Mei 2013

Cinta di Tolak??


            Pagi sahabat, okey langsung aja ya… Kali ini aku mau bahas tentang ‘Cinta yang ditolak’ karena aku habis ngalami *curhat dikit* sebenarnya aku buat postingan ini bukan buat ngibur diri sendiri lho. Tapi untuk beberapa orang yang pernah ngalami ini. Akhir-akhir ini banyak banget yang frustasi bahkan sampai bunuh diri gara-gara cintanya ditolak. Bahkan sampai ada yang bilang “Aku gak bisa hidup tanpa dia..” terus yang “Aku cinta mati sama dia..” STOP didunia ini manusia itu banyak. Masih banyak yang lebih baik gak usah sampai ngorbani kehidupan kita demi orang lain sampai segitunya. Cinta itu wajar dimiliki manusia tapi kita harus bisa menahan rasa cinta karena cinta yang berlebihan justru membuat kita yang sakit sendiri. Baiklah bagi yang lagi galau karena ditolak sama orang yang dicintai mari kita merenung.

1)      Sebelum cinta kamu kepada orang lain bertambah lebih baik sebisa mungkin kamu bunuh rasa cinta itu. Ingat dalam islam mencintai orang lain berlebihan itu tidak diperbolehkan. Mengapa? Karena cinta yang berlebihan akan membuat cinta kita kepada manusia melebihi cinta kita kepada Allah.
2)      Usahakan melihat lawan jenis yang kita cintai. Jika dia gak merespon kita sebisa mungkin kita jangan berharap. Mesti cinta itu selalu berharap untuk memiliki. Tapi kalau terlalu berharap yang ada malah ‘ilusi hati’ dan kalau ditolak yang ada malah obsesi untuk mendapatkan cinta itu. Ingat sekali lagi terobsesi pada suatu hal dapat menyebabkan ganguan jiwa. Kalau gak percaya coba aja sendiri.
3)      Pikir sekali lagi apa itu cinta? Cinta itu gak harus memiliki. Gak harus berakhir dalam sebuah hubungan yang biasa disebut ‘Pacaran’. Cinta itu perasaan seseorang kepada lawan jenis yang didasari ketulusan yang akan tumbuh menjadi perasaan yang suci. Kalau kita mencintai seseorang itu dengan tulus apapun nanti resiko yang kita hadapi kita bisa menerima kenyataan apapun yang ada didepan kita. Yang terpenting jangan mencintai orang itu melebihi cinta kita kepada Sang Pencipta. Nanti jadi Musyrik lho.
4)      Kalau udah terlanjur mencintai ambil sikap mau mengungkapkan atau mau melupakan. Kalau mau mengungkapkan lihat dulu tujuannya. Mestipun seumpama kita kaum hawa gak masalah tergantung niatnya. Kalau niatnya ngungkapin buat melangkah ke hubungan tadi yaitu ‘Pacaran’ mending urungkan niatmu. Kembali ke awal cinta gak harus berakhir dalam hubungan semacam itu. Yang ada harga diri seorang wanita akan turun kalau niatnya kayak gitu. Kalau niatnya untuk melegakan hati agar gak semakin jauh melangkah itu gak masalah. Tapi kembali lagi ke individu masing-masing yang jelas kalau niat kita baik Insyak Allah kita juga akan diberi jalan yang baik oleh Allah. Kalau emang dia nolak kita mungkin itu jalan terbaik untuk diri kita. Kita kan udah memberi perasaan tulus kita kepadanya jadi gak masalah.
5)      Kalau udah ditolak jangan lagi ngejar-ngejar dia lho ya. Ntar yang ada orang yang kita cintai jadi ilfil. Malah akhirnya kita jadi obsesi. Cinta yang berujung ke obsesi itu bukanlah cinta yang tulus. Tapi itu justru jadi cinta yang didasari hawa nafsu ingin memiliki. Mesti ada yang bilang cinta itu harus diperjuangin. Gak banget,,, kita harus menerima keadaan. Mungkin aja suatu saat kita diberi jalan yang baik oleh Allah.

Okey jadi buat sahabat yang sedang jatuh cinta. Renungkan dulu cinta
sahabat aku yakin rasa cinta yang diberikan kepada sahabat itu sudah ditakdirkan oleh Allah dan dengan tujuan tertentu. Jadi nikmati aja, gak usah galau. Karena galau cuman buang-buang waktu. Okey keep smile ya buat sahabat yang mungkin lagi patah hati *padahal yang nulis yang patah hati* sampai jumpa lagi sahabat. Bye bye… ^^