Senin, 24 Juni 2013
You Can Fly with Your Arrow
Laki-laki
itu berdiri dengan tegak sebuah busur dan anak panah siap meluncur dari
tangannya. Dengan penuh hati-hati laki-laki itu fokus menatap kedepan tanpa
sedikitpun melihat ke lain. Sampai akhirnya dia meluncurkan anak panah
ditangannya.
Jleb…
Seluruh
penonton bertepuk tangan dengan tatapan kagum pada laki-laki itu. Saat itulah
jantungku berdetak begitu cepat. Seluruh tubuhku merinding ketika melihat
laki-laki itu. Laki-laki yang begitu hebat yang berdiri dengan senyuman lebar
dibibirnya.
¿¿¿
Kutatap
lampu jalan malam ini dari dalam mobil. Tempat yang telah lama kutinggal itu
masih sama seperti dulu. Tetap terlihat indah ketika malam hari. Dan masih
lekat kenangan 2 tahun yang lalu.
“Apa
kamu tidak ingin mencari laki-laki itu?” Ucap Karen yang duduk disampingku.
“Entahlah
aku tidak yakin.” Balasku.
“Kabarnya
setelah kejuaraan nasional 2 tahun yang lalu dia berhenti memanah. Padahal dia
sangat berbakat.”
Aku
hanya terdiam tanpa menatap Karen sama sekali. Kemudian hening terjadi diantara
kami berdua. Sampai akhirnya kami sampai ke tempat tujuan.
“Kita
sudah sampai.” Ucapku.
Kami
pun berhenti disebuah rumah besar dengan pagar yang tingginya hampir 2 meter
itu. Sebelum kami membuka pintu pagar yang besar itu seorang wanita separuh
baya berdiri didepan pagar membukakan untuk kami berdua.
Kami
berdua memasuki ruang tengah rumah itu. Rumah yang besar sekali dengan koleksi
patung dan benda-benda tua berjajar dikanan kiri rumah ini. Rumah yang didesain
klasik ini terlihat sepi hanya beberapa orang yang tinggal dirumah ini.
“Nona
bagaimana kabar anda?” Tanya salah satu pelayan rumah ini.
“Baik.
Ayah dan ibu dimana?” Tanyaku balik.
“Mereka
sedang pergi mungkin sebentar lagi akan pulang. Lebih baik anda istirahat
dulu.”
Aku
dan Karen pergi menuju kamar masing-masing. Karen adalah sepupuku, kami berdua
tinggal bersama sejak kecil karena orang tua Karen meninggal ketika Karen masih
kecil.
“Rere
besuk aku gak bisa mengantarmu ke rumah sakit. Kamu pergi sendiri tidak
apa-apa?” Ucap Karen dari luar pintu kamarku.
“Baiklah.”
¿¿¿
Siang ini aku berjalan sendiri
menuju rumah sakit. Setiap bulannya selalu diadakan kegiatan amal dirumah sakit
ini. Kulihat halaman rumah sakit itu telah banyak orang disana. Aku pun
mempercepat langkahku.
Sesampainya dihalaman rumah sakit
seorang laki-laki duduk dikursi roda sedang memainkan sebuah gitar ditangannya.
Alunan musik yang indah yang membuat sebagian orang mengerumuni orang tersebut.
Dengan penasaran aku menghampiri kerumunan orang tersebut.
Laki-laki itu kembali mengguncahkan
hatiku. Laki-laki 2 tahun lalu yang sekarang menjadi sosok yang sangat berbeda
dengan aura yang sama seperti laki-laki itu.
Setelah menyelesaikan satu lagu
beberapa orang meminta tanda tangan darinya. Dengan tersenyum dia melayani
semua orang dengan baik. Sampai akhirnya tinggal aku dan dia yang saling
berhadapan.
“Maaf ada yang bisa saya bantu?”
Ucapnya.
Aku masih terdiam tak percaya bahwa
dia laki-laki 2 tahun yang lalu yang mampu membuatku terpesona padanya.
“Permisi nona. Ada yang bisa saya bantu?” Ucapnya sekali
lagi.
“Ah maaf. Tidak ada.” Balasku
kemudian laki-laki itu bersiap untuk pergi.
“Tunggu dulu.” Ucapku mencegah
laki-laki itu pergi. Dengan cepat dia hentikan kursi rodanya.
“Apa anda Rey Laksana?” Tanyaku
kemudian.
“Benar.” Jawabnya singkat.
“Bukankah anda seorang atlet
memanah?” Tanyaku lagi membuat raut wajahnya berubah seketika.
“Maaf.” Ucapnya kemudian pergi.
Aku berusaha mengejarnya tetapi dia
enggan melihatku. Tiba-tiba seorang anak terjatuh dan menangis dihadapan
laki-laki itu. Aku menghampiri anak itu.
“Mana yang sakit? Coba kakak lihat?”
Ucapku ramah.
Anak itu masih menangis bahkan
menangis semakin kencang.
“Anak manis gak boleh nangis.”
Kupegang lutut anak yang terluka tadi dan tiba-tiba anak itu berhenti menangis.
“Ini kakak punya permen. Jangan
nangis lagi ya.” Ucapku tersenyum, anak itu mengambil permen dari tangan
kananku kemudian berlari menuju ibunya.
Laki-laki yang duduk dikursi roda
itu hanya terdiam melihatku kemudian bersiap untuk pergi.
“Tunggu aku masih ingin bertanya
padamu.” Cegahku lagi.
“Apa lagi yang kamu ingin kamu
tanyakan?” Ucapnya menatap kedua mataku.
“Kenapa kamu berhenti memanah?
Bukankah…” Sebelum aku mengakhiri kata-kataku laki-laki itu pun langsung pergi
tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Hey tunggu.” Teriakku tetapi tidak
dihiraukan olehnya.
Aku melihat laki-laki itu semakin
menjauhiku. Aku hanya diam ditempat tanpa mengejarnya.
“Rere.” Panggil seorang wanita
dibelakangku.
“Suster Santy. Apa kabar?” Ucapku
kemudian Suster Santy memelukku.
“Baik.” Tanyanya kemudian mengajakku
masuk kerumah sakit.
Rumah sakit ini masih terlihat sama
seperti dulu. Sejak kecil aku sering mengunjungi rumah sakit ini. Rumah sakit
yang letaknya hanya beberapa meter dari rumahku itu sering dipenuhi banyak orang
setiap bulannya. Acara amal yang dilakukan oleh rumah sakit ini membuatku sering
datang ke rumah sakit ini dan tentunya hal itu dikarenakan rumah sakit ini
milik kakekku.
“Bagaimana kabarmu di Belanda? Pasti
menyenangkan disana.” Tanya Suster Santy mengalihkan pembicaraan.
“Yah begitulah. Tetapi lebih menyenangkan
saat aku di Indonesia .”
Suster Santy hanya melihat sambil
tertawa kecil. Kulihat sekelilingku, rumah sakit ini belum berubah masih
seperti dulu. Disudut lorong seorang laki-laki memainkan beberapa lagu dengan
gitar ditangannya. Aku sedikit melirik ke laki-laki itu. Entah mengapa raut
wajah sedih yang terlintas dimataku.
“Aku sedikit kasihan padanya. Dia
mengalami kecelakaan yang membuat kakinya cidera dan harus kehilangan seorang
adik yang paling disayanginya.” Kutatap Suster Santy rupanya dia
memperhatikanku sejak tadi.
“Baiklah
aku harus bekerja.” Ucap Suster Santy kemudian meninggalkanku.
Aku
masih menatap sosok itu. Dengan kursi rodanya seakan membuatnya menjadi sosok
yang rapuh. Ketika aku hendak menghampirinya. Dia menghentikan permainan
gitarnya dan mendorong kursi rodanya menuju kamarnya.
¿¿¿
Kutatap langit malam ini,
bintang-bintang bertaburan indah dilangit membentuk sebuah deretan-deretan
bintang dengan pola tersendiri. Diatas kasurku Karen memandangi foto
gadis-gadis berpakaian unik tetapi tetap terlihat cantik.
“Coba lihat ini. Simple banget
kelihatan cocok kalau aku pakai.” Ucap Karen tiba-tiba tapi tak ada jawaban
dariku.
“Rere.” Panggilnya pelan. Tetapi aku
masih tetap terdiam seperti tadi.
“RERE.” Teriak Karen membuyarkan
lamunanku.
“Iya ada apa?” Jawabku.
“Sejak tadi kamu gak perhatikan aku
bicara apa? Kamu itu kenapa sih? Lagi mikirin apa?” Tanya Karen kesal.
“Maaf.” Jawabku singkat.
Beberapa menit hening terjadi sampai
akhirnya Karen melontarkan pertanyaan yang membuatku terkejut.
“Apa kamu bertemu dengan laki-laki
itu?” Tanya Karen tiba-tiba.
Aku terdiam sejenak memikirkan
jawaban apa yang akan aku berikan pada Karen. Tetapi sepertinya Karen sudah
bisa menebak apa jawabannya.
“Iya.” Jawabku berusaha jujur.
“Apa ada sesuatu yang terjadi?”
“Tidak. Aku mau istirahat bisakah
kau kembali ke kamarmu.” Pintaku pada Karen. Dia pun pergi tanpa protes sama
sekali padaku. Kami sudah akrab sejak kecil jadi Karen tahu apa yang harus dia
lakukan saat moodku sedang buruk.
¿¿¿
Pagi ini aku memberanikan diri
bertemu dengan Rey. Aku tahu dia pasti akan mengusirku. Tetapi aku tidak akan
menyerah setidaknya aku ingin orang yang aku kagumi itu kembali menjadi dirinya
sendiri. Bukan dirinya yang rapuh seperti itu.
Rey duduk diatas kursi rodanya. Dia
menatap langit lewat jendela rumah sakit. Wajahnya yang terlihat begitu rapuh.
Dia bagaikan seekor burung yang kehilangan salah satu sayapnya. Dan tidak
mungkin dia akan terbang dengan satu sayap itu.
Kuhampiri dia yang sejak tadi
melihat langit tanpa sadar keberadaanku. Setelah beberapa waktu kemudian dia
tersadar dan menatapku sejenak kemudian berpaling dan enggan melihatku.
“Apa sikapku kemarin terlalu buruk
untuk dimaafkan?” Tanyaku tiba-tiba, Rey pun menatapku sejenak kemudian kembali
menatap langit.
“Aku hanyalah seekor burung yang
hanya mempunyai satu sayap. Untuk apa kau masih berdiri disamping burung yang
bahkan tidak akan pernah bisa terbang lagi.” Ucapnya tanpa menoleh kepadaku.
“Ketika seekor burung hanya memiliki
satu sayap mungkinkah dia bisa terbang ?” Entah mengapa kata itu yang aku
lontarkan menanggapi ucapnya tadi.
“Itu mustahil.” Jawabnya masih tetap
pada posisi semula.
“Tidak. Burung itu bisa terbang,
karena dia punya kepercayaan dalam dirinya. Dia memiliki sesuatu yang
membuatnya dapat percaya pada apa yang ada dalam dirinya. Dan saat itu dia akan
terbang mesti hanya satu sayap. Satu sayap yang mewakili satu sayap lainnya.”
Rey memandangiku kemudian tersenyum
padaku. Saat itulah senyum yang terukir indah tampak dihadapanku. Senyum yang
indah yang mampu membuatku merasa tenang didekatnya.
“Waktu itu kebahagian datang padaku
setelah aku berusaha untuk meraih semua itu. Aku yang begitu bahagia hingga
membuatku ingin jatuh dalam kebahagian itu. Tetapi kebahagian yang kudapatkan
harus ditukar dengan sesuatu yang berharga bagiku.” Ucapnya kemudian tanpa aku
sadari aku memeluknya. Beberapa menit kemudian aku melepas pelukanku darinya.
Rona wajahku menjadi merah seketika dengan perasaan tidak karuan aku berlari
meninggalkan Rey yang diam terpaku tak percaya akan apa yang aku lakukan.
¿¿¿
Aku memberanikan diri menghampiri
Rey dan meminta maaf atas kejadian kemarin. Aku benar-benar malu jika aku
mengingat kejadian kemarin. Entahlah aku juga tidak tahu mengapa aku melakukan
hal ini.
Dari jauh aku melihat seorang wanita
keluar dari kamar Rey. Wanita berkulit putih dengan kemeja putih dan bawaan rok
selutut berwarna hitam. Wanita yang sepertinya sebaya denganku itu terlihat begitu
cantik. Wanita itu pun sudah terlihat jauh meninggalkan kamar Rey. Aku pun
memasuki kamar Rey. Kulihat Rey sedang memandangi langit seperti biasanya.
Kulihat sekeliling kamar Rey kamar rumah sakit yang terlihat sederhana tetapi
dipenuhi banyak bunga-bunga dan surat-surat yang tercecer diseluruh ruangan.
Tiba-tiba mataku beralih ke meja samping kasur ruangan itu. Sebuah busur dan
anak panahnya terlihat kokoh diatas meja itu. Kuhampiri meja itu dan memegang
benda tersebut.
“Buang saja benda itu.” Ucap Rey
masih pada posisi yang sama.
“Kenapa kamu tidak ingin memanah
lagi?” Tanyaku padanya.
“Itu bukan urusanmu.” Jawabnya.
“Apa itu karena kematian adikmu?”
Tanyaku dengan perasaan sedikit takut jika Rey akan marah padaku. Rey pun
menoleh padaku.
“AKU BILANG BUANG SAJA BENDA ITU DAN
CEPAT PERGI DARI SINI.” Bentak Rey yang membuatku ketakutan. Dengan cepat aku
berlari meninggalkan Rey.
¿¿¿
Kutatap benda itu, benda yang
terlihat buruk bagi Rey. Entah mengapa tiba-tiba air mataku jatuh. Apa aku
menyukai Rey? Entahlah aku tidak yakin, tetapi aku selalu berdebar ketika
melihatnya dan selalu bahagia jika melihatnya bahagia. Apa itu bisa disebut
cinta? Aku tidak pernah merasakan itu sebelumnya. Tetapi saat ini hatiku sakit
saat Rey membentakku tadi. Apa yang terjadi padaku? Aku tidak tahu apa yang
telah aku alami ini.
Didepan pintu kamarku berdiri Karen.
Dia terlihat begitu khawatir ketika melihatku. Dia menghampiriku dan memelukku
sebentar. Kemudian mengambil sebuah anak panah yang sejak tadi kupandangi itu.
“Berjuanglah, bukankah kamu ingin
melihatnya sekali lagi?” Ucapnya.
Kuambil anah panah itu dari tangan
Karen. Air mataku pun menetesi anak panah itu. Semakin lama semakin deras.
Karen mengelus rambut panjangku sambil tersenyum padaku. Aku pun memeluk Karen dan
menangis didalam pelukannya.
¿¿¿
Sudah seminggu aku tidak mengunjungi
rumah sakit. Sejak kecil aku mengidap penyakit asma. Walaupun begitu aku selalu
ingin bebas melakukan apapun yang ingin aku lakukan saat ini, mesti tidak
semuanya aku bisa lakukan.
Beberapa hari ini aku belajar
memanah mesti Karen menentangku dengan keras tetapi aku ingin membuktikan pada
Rey bahwa jika aku mampu aku yakin Rey juga mampu melakukan hal itu.
“Sudahlah. Lebih baik kamu istirahat
jangan terlalu memaksakan diri.” Ucap Karen yang sejak tadi mengamatiku.
“Aku baik-baik saja.” Jawabku sambil
mengelap keringat didahiku.
“Ini obatmu aku gak tanggung kalau
sampai kamu kumat.” Kata Karen menaruh tabung oksigen kecil berwarna hijau
didekatku.
“Tenang saja. Aku masih kuat kok.”
“Terserah saja yang penting aku
sudah mengingatkanmu.”
¿¿¿
Dua
minggu kemudian, aku bahkan tidak bertemu dengan Rey sejak hari itu. Entah apa
yang terjadi padaku. Aku merasakan sesuatu, aku rindu dirinya. Aku pun pergi ke
rumah sakit hanya sekedar melihat dirinya.
Aku
berdiri didepan pintu kamarnya. Dari kaca pintu terlihat kamarnya sepi tidak
ada orang didalam. Kemudian aku berbalik ingin kembali pulang tetapi tanpa
kusadari Rey sudah ada didepanku.
“Sejak…ka…pan…kamu…dibelakang…ku?”
Ucapku terbata-bata terkejut melihat Rey ada dihadapanku.
“Sejak
tadi. Ngapain berdiri didepan pintu? Masuk aja gak dilarang.” Katanya kemudian
memasuki kamarnya. Aku mengikuti dari belakang.
Kulihat
kamar Rey lagi. Sekarang ada yang berbeda dari dua minggu yang lalu. Setidaknya
bunga dan surat-surat tidak lagi berceceran dikamarnya.
“Kamu
membersihkan kamarmu?” Entah kenapa kata itu yang terlontar dari bibirku.
“Tidak,
Tari yang membersihkannya.” Ucapnya membuatku sedikit penasaran dengan nama
itu.
Rey
melihat kedua tanganku kemudian ditariknya tangan kananku.
“Aww..”
Rintihku.
“Untuk
apa kamu belajar memanah?” Tanyanya memperhatikan tangan kananku.
“Kamu
menyuruhku membawanya dan memintaku untuk membuangnya. Sayang kalau dibuang
jadi aku pakai saja.” Jawabku memberikan senyuman tipis padanya.
“Bodoh.”
Ucapnya tersenyum membalas senyumanku.
Dari
luar seorang wanita memasuki kamar Rey. Wanita yang beberapa minggu lalu
kulihat keluar dari kamar Rey. Tapi siapakah wanita itu? Entah mengapa perasaan
menjadi tidak enak ketika wanita itu mendekatiku dan Rey. Dan saat aku tersadar
tanganku sudah terlepas dari genggaman Rey entah sejak kapan.
“Rey.”
Ucap wanita itu dengan wajah terlihat sedih.
“Tari
ada apa?” Rey terlihat khawatir kemudian wanita itu menangis dan memeluk Rey
tiba-tiba. Dan saat itulah hatiku terasa sakit. Aku pun pergi meninggalkan
mereka berdua tanpa salam perpisahan sekali pun.
¿¿¿
Aku
berdiri tegak membetulkan letak anak panahku didalam busurnya. Memfokuskan
pandanganku pada satu titik dihadapanku. Kutarik nafas dalam-dalam kemudian aku
luncurkan anak panah itu.
Jleb.
Sayang
sekali tembakanku meleset lagi. Untuk sekian kalinya aku berlatih tidak ada
yang tepat sasaran. Aku pun berhenti latihan. Memang seharusnya aku berlatih
dengan orang yang lebih ahli. Kubuka buku tentang memanah, kulihat sekali lagi.
Aku sudah melakukannya sesuai buku itu tapi entah mengapa tetap saja tidak
bisa. Aku mulai putus asa tapi aku berusaha agar tidak menyerah.
Sesaat
aku mengingat kejadian kemarin. Apa aku cemburu? Tapi aku hanya mengagumi Rey.
Apa kagum itu sama dengan suka? Apa jika suka akan merasakan hal seperti ini?
Entahlah aku tidak pernah tahu perasaan apa yang aku rasakan ini.
“Sudah
nyerah?” Ucap seseorang yang kukenali suaranya itu.
“Rey?”
Ucapku terkejut melihatnya ada didekatku.
“Kenapa
kamu bisa ada disini?” Tanyaku.
“Rahasia.”
Jawabnya membuatku kesal.
“Kamu
kan pasien
rumah sakit? Pasti pihak rumah sakit akan mencarimu lebih baik kamu segera
kembali.” Suruhku kemudian berdiri dan memegang pegangan dibelakang kursi roda
Rey.
“Aku
pasien lepas. Jadi tidak masalah.” Rey memegang tanganku yang ada dipegangan
belakang kursi roda.
Rey
pun menatap busur dan anak panah yang terletak di bawah kakinya. Rey juga
melihat tabung oksigenku ada didekat busur tersebut.
“Jangan
terlalu memaksakan diri.” Ucapnya.
“Tenang
saja aku baik-baik saja kok.” Aku pun tersenyum seolah-olah tidak ada apa-apa.
Dadaku
terasa sesak. Aku takut jika penyakitku akan datang saat ini. aku tidak akan
menunjukkan bahwa aku tidak benar-benar sedang tidak baik.
“Sepertinya
kamu harus pakai obatmu. Aku tidak bisa menolong jika terjadi apa-apa padamu.”
Ucapnya yang membuatku sadar bahwa dia memperhatikan kondisiku saat ini.
Aku
pun menuruti ucapannya. Ku ambil tabung oksigen yang ada didekat busur panah
dibawah kaki Rey. Setelah memakai obat itu kondisiku sudah cukup baik kembali.
“Apa
sudah baik-baik saja? Sebetulnya aku ingin mempertimbangkan memanah lagi tetapi
kalau kamu bisa menembak tepat sasaran. Hmm.. Sepertinya kondisimu kurang baik.
Aku tidak akan memaksa.” Ucapnya tiba-tiba membuatku terkejut.
“Akan
aku lakukan.” Mendengar ucapannya aku berusaha menunjukkan kalau aku baik-baik
saja.
Ku
ambil busur dan anak panah yang aku letakkan dibawah kaki Rey. Ku pusatkan
pikiranku pada satu titik dihadapanku. Mesti sampai sekarang aku masih belum
bisa berhasil tapi aku berusaha akan berhasil menembak dengan tepat. Kutarik
nafasku dalam-dalam kemudian kutenangkan pikiranku. Aku yakin aku bisa. Ku
pejamkan sejenak mataku kemudian kubuka kembali dan masih tetap pada satu titik
tersebut.
Jleb…
Apa
kali ini berhasil? Apa tepat pada sasaran. Kubuka mataku anak panah yang
kuluncurkan tepat sasaran. Aku pun loncat kegirangan. Rey hanya tersenyum puas
padaku.
“Dasar
bodoh. Sepertinya kali ini kamu yang menang.” Ucap Rey.
“Oya
wanita yang mengunjungimu kemarin itu siapa? Pacarmu?” Tanyaku penasaran.
“Hahaha…”
Rey justru menjawabnya dengan tertawa.
“Dia
sepupuku. Kenapa kamu cemburu?” Lanjutnya.
“Tidak.
Enak saja siapa juga yang cemburu. Wek.” Ucapku sambil menjulurkan lidahku.
Mesti
aku belum yakin perasaan apa yang ku rasakan ini tetapi aku bahagia bertemu
dengan laki-laki ini. Laki-laki yang sangat hebat bagiku. Sekarang burung
dengan satu sayapnya akan terbang kembali. Dan aku yakin dia akan terbang lebih
tinggi melebihi siapapun.
¿¿¿
Setahun
telah berlalu, sekarang aku berdiri melihat seorang laki-laki yang mampu
menggetarkan hatiku berdiri dengan gagahnya. Mesti dia berdiri tidaklah
sesempurna yang lainnya tetapi dia yang paling bersinar bagiku. Beberapa menit
kemudian panah itu diluncurkan.
Jleb…
Semua
penonton diam memandangi laki-laki itu dan sesaat kemudian tepuk tangan
penonton terdengar begitu kencang. Senyum lebar terlihat dari bibirnya.
Laki-laki itu pun menjadi yang pertama dalam pertandingan itu.
“Ayo
kita berangkat.” Ucapku.
“Tidak
pamitan dulu?” Tanya Karen
“Tidak
usah itu akan menyulitkanku.”
Aku
dan Karen meninggalkan tempat itu. Rey memandangiku dari jauh. Aku meninggal
perasaan yang entah aku tak tahu itu. Dan aku tak tahu apakah aku akan yakin
pada itu kelak. Tapi aku rasa aku bahagia sekarang.
¿¿¿
Waktu
berjalan seperti roda tak pernah terhenti walau sedetik. Seperti aliran air
yang akan mengalir kemanapun asalkan ada celah untuk air itu mengalir. Sudah
tiga tahun aku tidak bertemu dengan laki-laki itu. Dia seekor burung yang bisa
terbang sekarang. Seekor burung yang dapat terbang mesti hanya satu sayap.
“Excuse
me. Are you Rere?” Tanya seorang laki-laki berbadan tinggi dan sepertinya
berkebangsaan asli Negara ini.
“Yes.”
“This
is for you.” Ucap laki-laki itu memberikan sebuah amplop berwarna biru padaku.
“What
this is?” Tanyaku memperhatikan amplop itu.
“I
don’t know. I give for young man. But I don’t know where the man who give me
this.” Ucap laki-laki itu kemudian laki-laki itu pergi.
Dengan
penasaran aku membuka amplop itu. Tetapi amplop itu hanya berisi selembar
kertas kosong. Aku merasa ada seseorang yang sedang iseng padaku. Tapi siapa
orang yang berani mempermainkanku.
“Apa
kamu tidak merindukanku?” Ucap seseorang yang sangat aku kenali suaranya itu.
Ku balikkan badanku. Kudapati sosok laki-laki yang masih lekat dipikiranku.
Dengan perasaan bahagia aku memeluk laki-laki itu.
“Mana
kursi rodamu?” Tanyaku kemudian melepas pelukanku.
“Aku
sudah bisa berjalan mesti tidak begitu baik. Setidaknya ada seseorang yang
mendorongku untuk menjadi seperti ini.” Ucapnya kemudian mencium keningku
tiba-tiba. Aku hanya terdiam tanpa protes sedikitpun.
“Bwahaahaha.
Mukamu lucu.” Tawanya begitu puas dihadapanku.
“Gak
lucu. Terus kamu ngapain ngasih amplop yang isinya kertas kosong kurang
kerjaan.” Kataku dengan raut wajah kesal.
“Karena
aku bingung mau menulis apa. Kalau aku tulis aku mencintaimu apa kamu akan
marah?” Godanya yang membuat mukaku merah merona.
“Bodoh.”
Kemudian aku memeluknya dan membisikkan sesuatu kata yang sangat indah bagiku.
“Aku juga
mencintaimu.”
Dan
aku tahu apa yang aku rasakan saat ini. Mungkin aku mencintainya. Ketika
perasaan itu datang jantungku berdetak lebih cepat. Seluruh tubuh terasa hangat
ketika didekatnya. Dan aku selalu bahagia jika melihat senyumnya. Cinta
perasaan yang tulus yang akan selalu ku jaga untuk selamanya. Seekor tak
berdaya itu pun terbang menembus langit yang lebih tinggi lagi. Langit yang
jauh lebih tinggi dibandingkan yang lainnya.
TAMAT
Langganan:
Postingan (Atom)