Senin, 12 Agustus 2013

Simfoni Sebuah Nama


Simfoni Sebuah Nama
Kudengar suara ombak yang menyejukkan. Irama yang pelan namun menenangkan jiwa sang pendengar. Seakan mata ini ingin terpejam menikmati kenyaman yang kurasakan selama ini. Perlahan-lahan bunyi itu semakin mengeras. Aku coba membuka lebar kedua tanganku mencoba lebih memahami suasana saat ini. Lama kelamaan seluruh tubuhku dipenuhi kabut yang dingin. Hingga membuatku sulit untuk bernafas kubuka pelan-pelan mataku. Dibawah kakiku alunan ombak mulai menerpa kaki lemahku. Ombak yang sejak tadi mengalun indah berubah menjadi naungan yang ganas bagai raksasa menelan mangsanya.
            “Hey..” Panggil seseorang dari kejauhan.
            Kupalingkan wajahku sedikit melihat sosok yang tengah sibuk berlari menghampiriku. Wajah dan senyum itu sosok yang membuat hati ini bergetar seakan ribuan sengatan listrik menyengat tubuhku.
            “Ayo pulang.” Katanya lirih.
            “Aku lebih nyaman disini. Setidaknya aku merasa baik-baik saja untuk saat ini.” Ucapku masih menatap lautan yang luas dihadapanku.
            “Tapi sudah saatnya kamu kembali ke rumah sakit.”
            “10 menit saja ya.” Rengekku.
            Tanpa berkata-kata dia merangkul bahuku. Kusandarkan kepalaku dipundaknya. Menikmati keindahan dari Sang Pencipta.
            “Aku berpikir ingin hanyut dalam ombak.” Ucapku tiba-tiba.
“Bebas melakukan apapun. Mengikuti arah angin yang senantiasa memberi kehidupan kepadaku.” Lanjutku.
“Tapi aku tidak ingin kau hanyut dalam ombak. Karena selamanya kau akan hidup dalam ketidak pastian. Tanpa arah hanya mengikuti arah angin. Tanpa tujuan kemana ombak itu akan melangkah.” Kata sosok disampingku yang membuatku menatap tubuhnya.
“Hidup ketidakpastian ya. Mungkin itulah kehidupanku.” Ucapku memandangi kedua mata sosok disampingku. Sosok mampu membuatku bangkit dari kegelapan hidup ini. Mungkin dialah makhluk yang paling berharga didunia ini.
&&&
            Sinar rembulan menyinari tubuhku yang lemah ini. Kutatap ruas jemari tanganku. Dari celah antara jemari tangan satu dengan yang lain aku masih dapat melihat cahaya rembulan yang entah mengapa terlihat lebih terang dari malam-malam sebelumnya.
            Untuk sekian kalinya dering telpon terdengar. Bunyi yang berusaha mengangguku malam ini. Tapi tetap sama aku masih diam terpaku menatap langit malam yang membuatku hanyut didalamnya. Hingga akhirnya bunyi itu menghilang.
            “Sampai kapan kamu berdiri disini? Sudah malam cepatlah masuk.” Pinta seseorang yang sangat aku kenal suaranya itu.
            “Sebentar lagi mungkin atau mungkin aku akan berdiri disini sampai besok.” Candaku. Tapi tak ada jawaban dari sosok yang tengah berdiri dibelakangku.
            Seketika sebuah tangan mendekap tubuhku dari belakang. Kehangatan yang sering aku rasakan, entahlah aku tidak pernah bosan dengan kehangatan yang bahkan mampu membuatku merasakan kenyaman yang tidak akan pernah aku rasakan selama ini.
            “Dimas, aku lelah.” Ucapku lirih.
            “Tidurlah aku akan selalu disisimu.” Balasnya.
&&&
            Pagi ini kulangkahkan kakiku menuju tempat yang paling aku benci didunia ini. Setelah sekian kalinya aku pergi ke tempat itu entah mengapa baru sekarang aku sadar bahwa aku sangat membenci tempat itu.
            Sesampainya disana kedua orang tuaku memasuki ruangan dokter pribadi keluarga kami. Beberapa lama menunggu mereka membuatku bosan dan tubuhku mulai berjalan menyusuri tempat yang bahkan sangat kukenal ini.
            Baju putih, bau obat-obatan telah akrab ditempat ini. Bagi mereka yang jarang ke tempat ini pasti akan merasa bosan. Hanya pemandangan serba putih yang terlihat disepanjang tempat ini. Tapi bagiku tempat ini bagaikan tempat kedua yang aku singgahi selain rumahku sendiri.
            Disudut bangunan ini sesosok laki-laki memegang mawar merah ditangan kanannya. Memandangi lantai putih yang bahkan sudah terlihat tua. Kuhampiri laki-laki itu, entah mengapa naluriku seolah mengajakku pergi ke tempat itu.
            “Hai.” Ucapku kepada laki-laki itu. Tetapi laki-laki itu masih diam dan tak menoleh kearahku.
            “Halo.” Ucapku lagi.
            Laki-laki itu memandangiku sejenak kemudian kembali ke posisi awalnya tadi. Mesti sebentar memandangnya tetapi terlihat jelas diwajahnya bahwa dia sedang sedih. Aku pun duduk disampingnya. Kuraba saku jaketku mencari sesuatu didalam sana. Sepasang earphone kuambil dari saku jaketku. Kupasangkan salah satu sisi earphone ke telinga kanan laki-laki itu. Sebuah alunan piano terdengar merdu ditelinga kiriku. Sampai alunan itu berakhir kami masih sibuk menikmati alunan musik yang indah itu.
            “Terdengar indah, selera musikmu tinggi juga.” Laki-laki itu pun bersuara.
            “Ah tidak juga tapi makasih. Kamu terlihat sedih ada masalah ya?” Ucapku sedikit penasaran. Mendengar kata-kata itu dariku laki-laki itu kembali terdiam.
            “Ah maaf.” Ucapku merasa bersalah.
            “Tidak apa-apa kok. Aku cuman lagi sedih. Seharusnya hari ini hari ulang tahun pacarku tetapi dia baru saja mengalami kecelakaan.” Ucapnya dengan wajah yang sedih.
Kami berdua pun terdiam untuk beberapa saat sampai akhirnya laki-laki itu membuka pembicaraan lagi.
“Sayangnya dia meninggal dalam kecelakaan itu.”
Mendengar kata-kata itu dari bibirnya aku hanya terdiam. Beberapa saat kemudian air mataku membasahi kedua pipiku.
“Ah maaf seharusnya aku gak menangis. Maaf.”
“Tidak apa-apa kok.” Balasnya singkat.
“Oya kenalkan nama aku Rava. Namamu siapa?” Ucapku sambil mengulurkan tangan kananku.
“Dimas.” Jawabnya membalas uluran tanganku.
“Maafkan yang tadi ya. Aku gak bermaksud buat kamu sedih kok.” Lanjutku.
“Haha.. Santai saja. Ngomong-ngomong kamu lagi jenguk siapa disini?”
Seketika aku hanya terdiam dan berusaha untuk tetap ceria dihadapan Dimas. Selama ini aku hanya hidup dalam kegelapan. Sendiri merasakan sakitnya kehidupan ini.
“Teman.” Jawabku singkat.
Pertemuan pertama yang terkesan indah saat itu. Dan pertemuan-pertemuan berikutnya yang akan membuatku merasakan arti kehidupan yang sebenarnya selama ini.
&&&
            “Dimas apa kamu akan sedih jika aku pergi?” Tanyaku pada Dimas yang duduk disampingku.
            “Kamu ini bicara apa sih?”
            “Jawablah.” Pintaku.
            “Tentu saja. Jadilah wanita yang kuat agar kamu tidak pergi meninggalkanku.” Ucapnya.
            “Aku mengantuk. Aku tidur dulu ya.”
            Perlahan kututup kedua mataku. Hanya kegelapannya yang terlihat. Perlahan-lahan kegelapan itu menjadi sebuah cahaya yang begitu terang bahkan membuat tubuhku menjadi hangat. Dan kesakitanku selama ini menghilang untuk selamanya bersama jiwaku yang terhempas dari ragaku.
&&&
            Aku menangis disudut bangunan kokoh yang sudah sering aku datangi ini. Aku selalu berusaha untuk tetap kuat tetapi tubuhku tak pernah mau mengikuti hati nuraniku.
            “Rava.” Panggil seseorang yang begitu aku kenali itu.
            “Sudahlah. Aku hanya gadis penyakitan yang gak pantas buatmu.” Bentakku membuat Dimas semakin mendekatiku.
            “Aku menolakmu bukan karena penyakitmu tapi karena perasaanku kepadamu.”
             Dimas kemudian memelukku. Aku menangis didalam pelukannya. Dia laki-laki pertama yang aku cintai. Laki-laki yang mampu membuatku merasakan arti kehidupan yang sebenarnya.
&&&
Ketika pertama kali aku menemuimu jantungku berdetak tak menentu. Semakin lama detak jantungku semakin memuncak. Saat itu hal yang paling indah dalam hidupku. Aku masih ingat bahwa aku berbohong padamu. Dan setelah beberapa lama kita saling mengenal aku tahu cepat atau lambat kau akan tahu semua itu. Benar aku hanya seorang gadis penderita leukemia yang tidak akan bertahan lama didunia ini. Tapi apakah kau tahu untuk pertama kalinya aku bersyukur bahwa aku bertemu denganmu bertemu dengan sosok yang bisa membuatku bangkit kembali. Dan aku tersadar bahwa aku sangat mencintaimu. Mestipun yang kita lihat sangatlah berbeda. Tetapi sampai akhir hayatku hanya dirimu yang aku cintai. Selamanya.


Rava

            Dimas memasukkan sepucuk kertas kedalam amplop biru. Ditatapnya amplop itu sejenak. Sore ini matahari terbenam dengan indah. Diiringi hembusan angin dan alunan ombak yang merdu. Suasana yang sangat didambakan seseorang yang telah jauh berada disana. Ditempat yang bahkan tidak bisa diraih manusia. Tempat yang lebih indah daripada tempat Dimas berdiri sekarang.
            “Sesuatu yang kita lihat tidaklah berbeda. Karena sesuatu yang kita lihat sekarang sudah ada didepan kita.”
TAMAT